A.
Pengertian
Penafsiran Hukum
Penafsiran hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas
dalil-daalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang di kehendaki
serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang.
B.
Macam-macam cara penafsiran hukum
Pengertian
dalam arti subjek dan obyek :
-
subyek
:ditafsirkan seperti oleh pembuat undang –
undang
-
obyek
: ditafsirkan lepas dari pembuat undang –undang
dan disesuaikan adat bahasa sehari –hari
Pengertian
dalam arti luas dan sempit :
-
Dalam
arti luas : dalil yang
ditafsirkan di beri penafsiran seluas luasnya
-
Dalam arti sempit (restriktif) : dalil yang diartikan diberi
pengertian yang
Berdasarkan sumbernya penafsiran Bersifat:
a)Otentik,Ialah penafsiran yang seperti
diberikan oleh pembuat undang-undang seperti yang
di lampirkan pada undang-undang sebagai penjelas.
Penafsiran ini mengikat
umum.
b)Doktrinair,Ialah penafsiran yang didapat
dalam buku-buku dan hasil-hasil karya karya para ahli.hakim tidak terikat
karena penafsiran ini hanya memiliki nilai teoretis.
c)Hakim,Penafsiran yang bersumber pada
hakim(peradilan)hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan berlaku bagi
kasus-kasus tertentu.
C.
Macam-Macam metode Penafsiran
1. Penafsiran
secara tata bahasa (Grammatikal)
Penafsiran
ini berdasar atas bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat yang
bersangkutan. Penafsiran ini mencari pengertian dari suatu undang-undang,dengan mencari pengertian tersebut dengan menggunakan
bahasa sehari-hari masyarakat tersebut.
Contoh:
a)
Pasal
432 KUHP “Seorang pejahat suatu lembaga pengangkutan umum yang
dengan sengaja memberikan kepada orang lain daripada yang berhak, surat
tertutup, kartu pos atau paket yang dipercayakan kepada lembaga itu, atau
menghancurkan, menghilangkan, memiliki sendiri atau mengubah isinya, atau
memiliki sendiri barang sesuatu yang ada di dalamnya diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun.
Kata “dipercayakan” dapat ditafsirkan dengan “diserahkan”
b)
Pasal
305 KUHP “Barang siapa menempatkan anak yang umurnya belum tujuh
tahun untuk ditemukan atau meninggalkan anak itu dengan maksud untuk melepaskan
diri daripadanya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam
bulan.
Kata “meninggalkan “ dapat ditafsirkan dengan “menelantarkan”
2. Penafsiran
Sistematis (systematische
interpretatie)
Penafsiran sistematis adalah cara untuk mencari pengertian suatu rumusan
uu dengan cara melihat hubungan rumusan yang satu dengan rumusan hubungan yang
lain dalam suatu uu tersebut. Dengan menghubungkan antar satu dan lainya ini dapat
ditarik suatu kesimpulan tertentu. Sistematis berarti antara bidang-bidang dalam uu
tersebut berkaitan atau berhungan satu dengan yang lain.
Contoh :
Pasal 1 ayat 2 KUHP “ Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan
sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang
paling menguntungkannya”.
Kata “paling menguntungkan”
bila Dihubungkan dengan Pasal 1 ayat 1 “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”
Pasal ini bermaksud tentang
ketentuan tidak dapat dipidanaya seseorang.
Sehingga bila ada suatu
ketentuan yang dapat dipidana dan muncul ketentuan baru yang tidak dapat
memidanakan hal tersebut maka pelaku tindak pidana tersebut dinyatakan bebas.
Misalnya X melakukan tindak
pidana dengan ancaman pidana 10 tahun kemudian muncul uu baru mengnai
tindak pidanya yaitu mengerutkan ancaman pidana menjadi 5 tahun.Maka ancaman
pidana yang digunkan yang 5 tahun
3.
Penafsiran Historis
Penafsiran historis adalah menafsirkan undang-undang dengan cara melihat
sejarah terjadinya suatu undang-undang itu dibuat. Penafsiran ini ada 2 macam :
a) Sejarah hukumnya yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah
terjadinya hukum tersebut.Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori
penjelasan, laporan-laporan perdebatan dalam DPR
dan surat menyurat antara
menteri dengan komisi DPR yang bersangkutan
b) Sejarah undang-undangnya,yng diselidiki maksunya Pembentuk
Undang-undang pada waktu membuat undang-undang itu.
Contoh : dapat dilihat dari Sejarah
undang-undangnya, berupa penyelidikan mengenai maksud pembentuk Undang-undang pada waktu membuat UU itu,
di denda 25 f,-sekarang
ditafsirkan dengan uang RI,sebab harga barang lebih mendekati pada waktu KUHP
itu di buat.
4.
Penafsiran Teologis
Mengenai maksud dan tujuan uu tersebut. Menafsirkan rumusan dalam suatun uu berdasarkan maksud
dari pembentukan rumusan tersebut dalam uu.
Penyebabnya kebutuhan
manusia berubah menurut waktu sementara rumusan uu tetap.
Contoh :
Saat masih berlakunya UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi (dicabut dengan UU No. 26 tahun 1999), dalam menafsirkan rumusan
dalam UU itu mengenai suatu kasus tertentu, selalu didasarkan pada maksud
dari pembentuk UU itu,yaitu untuk memberantas setiap perbuatan yang menggangu
kelangsungan dan kestabilan kekuasaan pemerintahan negara ketika itu.
5. Penafsiran
Autentik
(resmi)
Penafsiran auyentik adalah penafsiran resmi yang diberikan oleh pembuat
undang-undang. Dikatakan penafsiran otentik karena tertulis secara
resmi dalam undang-undang artinya berasal dari pembentuk UU itu sendiri, bukan
dari sudut pelaksana hukum yakni hakim. Kebabasan hakim dibatasi ,sehingga
hakim tidak boleh menfasirkan di luar pengertian tersebut.
Diluar KUHP penfsiran ini
dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan umum dan penjelasan pasal demi pasal.
Contoh:
a)
Pasal
98 KUHP : arti waktu ”malam” berarti waktu antara matahari terbenam
dan matahari terbit
b)
Pasal
101 KUHP: arti “ternak” berarti hewan yang berkuku satu, hewan memamah biak
dan babi
6. Penafsiran
Nasional
Penafsiran nasional adalah penafsiran yang menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku.
Misalnya :
Hak milik Pasal
570 KUHPer sekarang harus ditafsirkan menurut hak milik sistem
hukum Indonesia.
7. Penafsiran
Analogis
Penafsiran analogis artinya memberi tafsiran pada sesuatu peraturan
hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya,
sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu
dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut (ada rasio persamannya kejadian
konkretnya terhadap noma-noma tesebut).
Misalnya
;
Pasal 388 KUHP ayat 1 “Barang
siapa pada waktu menyerahkan barang keperluan Angkatan Laut atau Angkatan Darat
melakukan perbuat.an curang yang dapat membahayakan kesempatan negara dalam
keadaan perang diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Maksud pasal tersebut adalah melarang oang melakukan pebuatan curang pada
waktu menyerahkan keperluan angkatan laut atau angkatan darat yang dapat
membahayakan keselamatan negaa dalam keadaan perang. Jadi tidak ada diatur
keperluan angkatan udara.
Dengan menggunakan penafsiran analogis, maka jika terjadinya
menyerahkan pada angkatan udara maka pasal ini juga dapat dikenakan karena pada
dasar fungsi, peranan dan tugas angkatan laut dan darat juga sama dengan tugas
angkatan udara yaitu dalam usaha perlindungan keselamatan dan keamanan negara.
Penafisran
Logis
Penafsiran Logis adalah mencari maksud dari pembentukan suatu uu dengan
menghubungkan dengan uu lain yang masih memiliki sangkut paut atau
berhubungan dengan uu tersebut.
Contoh :
Pasal 55 tentang Bab V
- Penyertaan dalam Tindak Pidana:
A. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
a.
mereka
yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan
perbuatan;
b.
mereka
yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan
atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi
kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan.
B. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja
dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
8. Penafsiran
ekstensif
Penafsiran ekstensif adalah suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara
memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan
sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan ke dalam.
Misalnya
; “aliran
listrik’ termasuk juga atau di samakan dengan “benda’.
9. Penafsiran
Restriktif
Penafsiran restriktif adalah Suatu penafsiran yang di lakukan dengan
cara membatasi atau mempersempit arti kata-kata yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan.
Misalnya
: Kerugian hanya terbatas pada
kerugian materil saja sedangkan kerugian immateriilnya termasuk didalam
nya.
10. Penafsiran
A Contrario(menurut peringkaran)
Penafsiran
A Contrario adalah penafsiran suatu penafsiran yang
dilakukan dengan cara memberikan perlawanan pengertian antara pengertian
konkret yang dihadapi dan peristiwa yang di atur dalam undang-undang.
Sehingga dengan berdasarkan
perlawanan pengertian itu dapat di ambil kesimpulan bahwa peristiwa yang
dihadapi itu tidak di liputi oleh undang-undang yang di maksud atau berada di
luar ketentuan undang-undang tersebut. (Menarik suatu kesimpulan yang berkebalikan dari
sesuatu yang telah ada)
Contoh :
Pasal
34 KUH Perdata menentukan bahwa seorang perempuan tidak di benarkan menikah
lagi sebelim lewat tenggang waktu 300 hari setelah perceraian dari suami
pertama. Berdasarkan penafsiran a contrario maka dapat
dikatakan bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi seorang laki-laki.
Karena bagi seorang
laki-laki tidak perlu menunggu tenggang waktu tersebut untuk melakukan
perkawinan lagi setelah putusnya perkawinan pertama.
Maksud tenggang waktu dalam
pasal 34 KUH Perdat tersebut adalah untuk mencegah adanya keraguan-keraguan
mengenai kedudukan anak,berhubungan dengan kemungkinan bahwa seorang sedang
mengandung setelah perkawinannya putusatau bercerai.jika anak itu
dilahirkan setelah perkawinann yang berikutnya dalam tenggang waktu sebelum
lewat 300 hari setelah putusnya perkawinan pertama maka berdasarkan
undang-undang kedudukan anak tersebut adlah anak dari suami pertama.
C.
Cara Penerapan Metode Penafsiran
Pembuat undang-undang tidak menetapkan suatu sistem tertentu yang harus
di jadikan pedoman bagi hakim dalam menafsirkan undang-undang.
Oleh karena itu hakim bebas
dalam melakukan penafsiran.
Dalam melaksanakan penafsiran pertama-tama selalu dilakukan penafsiran gramatikal, karna pada hakikatnya untuk memahami teks
peraturan perundang-undangan harus mangerti terlebih dahulu arti
kata-katanya. Apabila perlu dilanjutkan dengan penafsiran
otentik yang di tafsiskan oleh pembuat undang-undang itu sendiri ,kemudian
dilanjutka dengan penafsiran historis dan sosiologis.
Sedapat mungkin
semua metode penafsiran semua dilakukan ,agar didapat makna-makna yang tepat.
Apabila semua metode
tersebut tidak menghasilkan makna yang sama,
maka wajib di ambil metode
penafsiran yang membawa keadilan setinggi-tingginya,
karena memang keadilan
itulah yang di jadikan sasaran pembuat undang-undang pada waktu mewujudkan
undang-undang yang bersangkutan .
0 komentar:
Posting Komentar