Selasa, 05 Januari 2016

Kekerasan Dalam Rumah Tangga ditinjau dari aspek Sosiologi Hukum


Kekerasan Dalam Rumah Tangga ditinjau dari aspek Sosiologi Hukum




2.1  Pengertian KDRT
          KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga), khususnya penganiayaan terhadap isteri merupakan salah satu penyebab kekacauan dalam masyarakat. Berbagai penelitian masyarakat menunjukkan bahwa penganiayaan istri tidak berhenti pada penderitaan seorang istri atau anaknya saja. Rentetan penderitaan akan menular keluar lingkup rumah tangga dan selanjutnya mewarnai kehidupan masyarakat kita.
     Menurut Mansour Fakih, Pengertian Kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas keutuhan mental psikologi seseorang. Kekerasan rumah tangga terkhususnya terhadap istri sering kita jumpai bahkan dalam jumlah yang tidak sedikit. Dari banyaknya kekerasan yang terjadi, hanya sedikit yang dapat diselesaikan secara adil. Hal ini karena dalam masyarakat masih berkembang pandangan bahwa kekerasan dalam rumah tangga tetap menjadi rahasia atau aib rumah tangga yang sangat tidak pantas jika diangkat dalam permukaan atau tidak layak dikonsumsi oleh publik.

Menurut Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), Pengertian KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara seksual, fisik, psikologi atau penelantaran rumah tangga termasuk juga hal-hal yang mengakibatkan pada ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertidak, rasa tidak percaya atau penderitaan psikis berat pada seseorang.



2.2  Faktor-faktor Penyebab KDRT
        Secara Garis besar, faktor-faktor penyebab terjadinya KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) dapat dirumuskan menjadi dua bagian, yakni faktor eksternal dan faktor internal. Pada faktor eksternal erat hubungannya dengan kekuasaan suami dan diskriminasi di kalangan masyarakat, diantaranya sebagai berikut :
1.      Budaya Patriarkhi yang menempatkan posisi laki-laki lebih unggul daripada perempuan dan berlaku tanpa adanya perubahan, seolah-olah itulah kodrati.
2.      Interprestasi Agama yang tidak sesuai dengan universal agama, misalnya nusyuz, yakni suami boleh memukul istri dengan alasan mendidik atau istri tidak mau melayani kebutuhan seksual suami, suami berhak memukul dan istri dilaknat malaikat.
3.      Kekerasan berlangsung justru bertumpang tindih dengan legitimasi dan menjadi bagian dari suatu budaya, keluarga, negara dan praktik di masyarakat sehingga menjadi bagian kehidupan.
2.3  Bentuk-bentuk KDRT
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam  rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :
a)      Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Kekerasan Fisik sebagaimana dimaksud Pasal 5a UU No. 23 Tahun 2004 adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
b)     Kekerasan  psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
c)      Kekerasan  seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
d)     Kekerasan  ekonomi
Kekerasan ekonomi sering kali menjadi pemicu terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.

 Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistic. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the books”
Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto , dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-udangan. Kedua, faktor, aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial dimana hkum tersebut berlaku atau diterapkan, berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Di dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 juga dinyatakan bahwa, tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan (Pasal 51). Demikian juga, tindak pidana kekerasan psikis sebagaimanadimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan (Pasal 52). Demikian juga halnya, tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakandelik aduan (Pasal 53).
Sosiologi Hukum menggambarkan bahwa mengenalkan hukum ke dalam arena-arena sosial dalam masyarakat, sama dengan mengantarkan sebuah Undang-undang ke dalam ruang kosong dan hampa udara. Ketika sebuah Undang-undang diantarkan ke suatu arena sosial, maka di dalam arena sosial tersebut sudah penuh dengan berbagai pengaturan sendiri yang dibuat oleh masyarakat, yang disebut sebagai Self Regulation (Moore, 1983). Ini membuat pembicaraan tentang masuknya suatu instrumen hukum yang bertujuan memajukan hak asasi perempuan dan keadilan gender, harus dilakukan secara hati-hati.
Pendekatan Sosiologi Hukum menunjukkan bahwa hukum negara bukanlah satu-satunya acuan berperilaku dalam masyarakat. Dalam kenyataannya, “hukum-hukum” lain yang menjadi acuan berperilaku tersebut justru diikuti secara efektif oleh masyarakat, dikarenakan hukum itulah yang mereka kenal, hidup dalam wilayah sendiri, diwariskan secara turun-temurun dan mudah diikuti dalam praktik sehari-hari. Sukar untuk mereka bayangkan bahwa ada hukum lain yang lebih dapat diandalkan daripada hukum yang mereka miliki sendiri, terlebih bila hukum itu datang dari domain yang “asing”, yang mengklaim diri sebagai otoritas tertinggi yaitu negara.
Undang-undang dibentuk hanya untuk mengatur hubungan masyarakat atas kehendak masyarakat itu melalui negara. Bahwa dengan ditetapkannya berbagai perbuatan sebagai tindak pidana (dikategorikan sebagai delik aduan ) di dalam UU PKDRT, secara konseptual, delik aduan merupakan delik atau tindak pidana penuntutannya di pengadilan digantungkan pada adanya inisiatif dari pihak sikorban.
Konsekuensi logis dari perumusan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga sebagai delik aduan di dalam UU PKDRT ini ialah, pihak aparat penegak hukum hanya dapat bersifat pasif, dan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi atau campur tangan dalam suatu urusan warga masyarakat yang secara yuridis dinyatakan sebagai masalah domestik, dan penegakan ketentuan di dalam undang undang ini lebih banyak bergantung pada kemandirian dari setiap orang yang menjadi sasaran perlindungan hukum undang-undang ini.
Permasalahan yang muncul dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah bahwa keengganan seorang istri yang menjadi korban kekerasan melaporkan kepada pihak yang berwajib, dalam hal ini polisi, karena beberapa akibat yang muncul dari laporan tersebut adalah perceraian, kehilangan nafkah hidup karena suami masuk penjara, masa depan anak-anak terancam dan lain-lain.
Dengan kondisi seperti tersebut maka dilihat dari segi sosiologi hukum, peluang keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini sanagat sulit untuk mencapai keberhasilan maksimal.
Merujuk pada teori sistem Friedman, sebagaimana disebutkan di bagian depan, faktor kesulitan penegakan hukum itu justru bersumber pada komponen substansi hukumnya sendiri, nilai nilai kultural yang terdapat di dalam masyarakat berkaitan dengan kehidupan rumah tangga itu.
Dengan Perumusan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan segala kompleksitas permasalahannya sebagai tindak pidana aduan, menjadikan tindakan-tindakan yang mengarah pada upaya pemidanaan pelakunya justru akan mengarah pada timbulnya dampak-dampak kontra produktif terhadap tujuan dasar pembentukan UU PKDRT itu sendiri.
Oleh karena itu, kembali kepada ide dasar penggunaan hukum pidana sebagai sarana terakhir dalam upaya penanggulangan kejahatan (ultimum remedium), maka keberadaan UU PKDRT harus lebih ditekankan pada upaya optimasi fungsi hukum administrasi negara dalam masyarakat. Upaya mengoptimalkan fungsi hukum administrasi negara, dalam kaitan ini yang dimaksudkan adalah upaya untuk mendidik moralitas seluruh lapisan warga masyarakat ke arah yang lebih positif berupa terwujudnya masyarakat yang bermoral anti kekerasan dalam rumah tangga.


2.5  Dampak dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1) Kehilangan minat untuk merawat diri, yang tampil dalam perilaku menolak atau enggan makan/minum, makan tidak teratur, malas mandi atau berdandan, tampil berantakan seperti rambut kusut, pakaian awut-awutan.
2) Kehilangan minat untuk berinteraksi dengan orang lain, yang tampil dalam perilaku mengurung diri di kamar, tidak mau berhubungan dengan orang lain, cenderung diam, dan enggan bercakap-cakap.
3) Perilaku depresif, tampil dalam bentuk pandangan mata kosong seperti menatap jauh ke depan, murung, banyak melamun, mudah menangis, sulit tidur atau sebaliknya terlalu banyak tidur, dan berpikir tentang kematian.
4) Terganggunya aktivitas atau pekerjaan sehari-hari, seperti sering menjatuhkan barang tanpa sengaja, kurang teliti dalam bekerja yang ditunjukkan dengan banyaknya kesalahan yang tidak perlu, sering datang terlambat atau tidak masuk bekerja, tugas-tugas terlambat tidak sesuai tenggat waktu, tidak menyediakan makanan untuk anak padahal sebelumnya hal-hal ini dilakukannya secara rutin.
5) Ketidakmampuan melihat kelebihan diri, tidak yakin dengan kemampuan diri, dan kecenderungan membandingkan diri dengan orang lain yang dianggapnya lebih baik. Contohnyamenganggap diri tidak memiliki kelebihan meski fakta yang ada menunjukkan hal sebaliknya, atau sering bertanya apakah yang ia lakukan sudah benar atau belum.
6) Kehilangan keberanian untuk melakukan tindakan yang ditunjukkan dengan tidak berani mengungkapkan pendapat atau tidak berani mengingatkan pelaku jika bertindak salah.
7) Stres pascatrauma, yang tampil dalam bentuk mudah terkejut, selalu waspada; sangat takut bila melihat pelaku, orang yang mirip pelaku, benda-benda atau situasi yang mengingatkan akan kekerasan, gangguan kilas balik (flash back) seperti tiba-tiba disergap bayangan kejadian yang telah dialami, mimpi-mimpi buruk dan atau gangguan tidur.
8) Kebingungan-kebingungan dan hilangnya orientasi, yang tampil dalam bentuk merasa sangat bingung, tidak tahu hendak melakukan apa atau harus bagaimana melakukannya, seperti orang linglung, bengong, mudah lupa akan banyak hal, terlihat tidak peduli pada keadaan sekitar, tidak konsentrasi bila diajak berbicara.
9) Menyakiti diri sendiri atau melakukan percobaan bunuh diri.
10) Perilaku berlebihan dan tidak lazim seperti tertawa sendiri, bercakap-cakap sendiri, terus berbicara dan sulit dihentikan, pembicaraan kacau; melantur, berteriak-teriak, terlihat kacau tak mampu mengendalikan diri, berulang-ulang menyebut nama tertentu, misalnya nama pelaku tanpa sadar.
11) Perilaku agresif, seperti menjadi kasar atau mudah marah terhadap anak/pekerja rumah tangga/staf atau rekan kerja, membalas kekasaran pelaku seperti mengucapkan kata-kata kasar, banyak mengeluhkan kekecewaan terhadap pelaku.
12) Sakit tanpa ada penyebab medis (psikosomatis), seperti infeksi lambung, gangguan pencernaan, sakit kepala, namun dokter tidak menemukan penyebab medis, mudah merasa lelah, seperti tidak bertenaga, dan pegal/sakit/ngilu, tubuh sering gemetar.
13)  Khusus pada anak, dampak psikis muncul dalam bentuk:
(a) mundur kembali ke fase perkembangan sebelumnya seperti kembali mengompol, tidak berani lagi tidur sendiri, kembali ingin terus berdekatan dengan orang lain yang dirasa memberi rasa aman, harus selalu ditemani.
(b) gangguan perkembangan bahasa seperti keterlambatan perkembangan bahasa, gangguan bicara seperti gagap.
(c) depresi yang tampil dalam bentuk perilaku menolak ke sekolah, prestasi menurun, tidak dapat mengerjakan tugas sekolah atau pekerjaan rumah dengan baik yang ditandai dengan banyaknya kesalahan, kurangnya perhatian pada tugas atau pada penjelasan yang diberikan orang tua/guru, dan berbagai keluhan fisik.

   2.6 Cara Penanggulangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain:
a.       Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
b.      Harus  tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat yang ada.
c.       Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
d.      Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
e.       Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.

2.7     Perlindungan bagi korban KDRT
UU PKDRT juga membagi perlindungan itu menjadi perlindungan yang bersifat sementara dan perlindungan dengan penetapan pengadilan serta pelayanan. Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya masing-masing:
a.       Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama 7 (tujuh) hari, dan dalam waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
b.      Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku (mediasi), dan mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial(kerja sama dan kemitraan).
c.       Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah perlindungan yang diberikan selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh) hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan yang ditandatanganinya mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan.
d.      Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti.
e.       Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan memberi rasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan, serta mengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga terkait.
f.       Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan seorang atau beberapa relawan pendamping, mendampingi korban memaparkan secara objektif tindak KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.
g.      Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban dan memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban.

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com