Kekerasan Dalam Rumah Tangga
ditinjau dari aspek Sosiologi Hukum
2.1 Pengertian KDRT
KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga), khususnya penganiayaan terhadap isteri merupakan salah satu penyebab
kekacauan dalam masyarakat. Berbagai penelitian masyarakat menunjukkan bahwa
penganiayaan istri tidak berhenti pada penderitaan seorang istri atau anaknya
saja. Rentetan penderitaan akan menular keluar lingkup rumah tangga dan
selanjutnya mewarnai kehidupan masyarakat kita.
Menurut Mansour Fakih, Pengertian Kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik
maupun integritas keutuhan mental psikologi seseorang. Kekerasan rumah tangga
terkhususnya terhadap istri sering kita jumpai bahkan dalam jumlah yang tidak
sedikit. Dari banyaknya kekerasan yang terjadi, hanya sedikit yang dapat
diselesaikan secara adil. Hal ini karena dalam masyarakat masih berkembang
pandangan bahwa kekerasan dalam rumah tangga tetap menjadi rahasia atau aib
rumah tangga yang sangat tidak pantas jika diangkat dalam permukaan atau tidak
layak dikonsumsi oleh publik.
Menurut Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), Pengertian KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara seksual, fisik, psikologi atau penelantaran rumah tangga termasuk juga hal-hal yang mengakibatkan pada ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertidak, rasa tidak percaya atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
2.2 Faktor-faktor
Penyebab KDRT
Secara
Garis besar, faktor-faktor
penyebab terjadinya KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) dapat
dirumuskan menjadi dua bagian, yakni faktor eksternal dan faktor internal. Pada
faktor eksternal erat hubungannya dengan kekuasaan suami dan diskriminasi di
kalangan masyarakat, diantaranya sebagai berikut :
1. Budaya Patriarkhi
yang menempatkan posisi laki-laki lebih unggul daripada perempuan dan berlaku
tanpa adanya perubahan, seolah-olah itulah kodrati.
2. Interprestasi Agama
yang tidak sesuai dengan universal agama, misalnya nusyuz, yakni suami boleh
memukul istri dengan alasan mendidik atau istri tidak mau melayani kebutuhan
seksual suami, suami berhak memukul dan istri dilaknat malaikat.
3. Kekerasan berlangsung
justru bertumpang tindih dengan legitimasi dan menjadi bagian dari suatu
budaya, keluarga, negara dan praktik di masyarakat sehingga menjadi bagian
kehidupan.
2.3 Bentuk-bentuk KDRT
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan
terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :
a)
Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit atau luka berat. Kekerasan Fisik sebagaimana dimaksud Pasal
5a UU No. 23 Tahun 2004 adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit atau luka berat.
b)
Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada
seseorang.
c)
Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan)
istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa
selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
d)
Kekerasan ekonomi
Kekerasan ekonomi sering kali menjadi pemicu terjadinya
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak
memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.
Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas
kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum,
penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi
antara berbagai perilaku manusia mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda
dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan
hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum
sebagaimana pendapat kaum legalistic. Namun proses penegakan hukum mempunyai
dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan
hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka
kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol
adalah problema “law in action” bukan pada “law in the books”
Proses penegakan hukum, dalam
pandangan Soerjono Soekanto , dipengaruhi oleh lima faktor.
Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-udangan. Kedua, faktor, aparat
penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan
penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor
sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor
masyarakat, yakni lingkungan sosial dimana hkum tersebut berlaku atau
diterapkan, berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi
dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta
dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Di dalam Undang-undang No.23 Tahun
2004 juga dinyatakan bahwa, tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud
dalam pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan (Pasal 51). Demikian juga, tindak
pidana kekerasan psikis sebagaimanadimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan
delik aduan (Pasal 52). Demikian juga halnya, tindak pidana kekerasan seksual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri
atau sebaliknya merupakandelik aduan (Pasal 53).
Sosiologi Hukum menggambarkan bahwa
mengenalkan hukum ke dalam arena-arena sosial dalam masyarakat, sama dengan
mengantarkan sebuah Undang-undang ke dalam ruang kosong dan hampa udara. Ketika
sebuah Undang-undang diantarkan ke suatu arena sosial, maka di dalam arena
sosial tersebut sudah penuh dengan berbagai pengaturan sendiri yang dibuat oleh
masyarakat, yang disebut sebagai Self Regulation (Moore, 1983). Ini membuat
pembicaraan tentang masuknya suatu instrumen hukum yang bertujuan memajukan hak
asasi perempuan dan keadilan gender, harus dilakukan secara hati-hati.
Pendekatan Sosiologi Hukum
menunjukkan bahwa hukum negara bukanlah satu-satunya acuan berperilaku dalam
masyarakat. Dalam kenyataannya, “hukum-hukum” lain yang menjadi acuan
berperilaku tersebut justru diikuti secara efektif oleh masyarakat, dikarenakan
hukum itulah yang mereka kenal, hidup dalam wilayah sendiri, diwariskan secara
turun-temurun dan mudah diikuti dalam praktik sehari-hari. Sukar untuk mereka
bayangkan bahwa ada hukum lain yang lebih dapat diandalkan daripada hukum yang
mereka miliki sendiri, terlebih bila hukum itu datang dari domain yang “asing”,
yang mengklaim diri sebagai otoritas tertinggi yaitu negara.
Undang-undang dibentuk hanya untuk
mengatur hubungan masyarakat atas kehendak masyarakat itu melalui negara. Bahwa
dengan ditetapkannya berbagai perbuatan sebagai tindak pidana (dikategorikan
sebagai delik aduan ) di dalam UU PKDRT, secara konseptual, delik aduan
merupakan delik atau tindak pidana penuntutannya di pengadilan digantungkan
pada adanya inisiatif dari pihak sikorban.
Konsekuensi logis dari perumusan
perbuatan kekerasan dalam rumah tangga sebagai delik aduan di dalam UU PKDRT ini
ialah, pihak aparat penegak hukum hanya dapat bersifat pasif, dan tidak
memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi atau campur tangan dalam suatu
urusan warga masyarakat yang secara yuridis dinyatakan sebagai masalah
domestik, dan penegakan ketentuan di dalam undang undang ini lebih banyak
bergantung pada kemandirian dari setiap orang yang menjadi sasaran perlindungan
hukum undang-undang ini.
Permasalahan yang muncul dari
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah bahwa keengganan seorang istri yang menjadi
korban kekerasan melaporkan kepada pihak yang berwajib, dalam hal ini polisi,
karena beberapa akibat yang muncul dari laporan tersebut adalah perceraian,
kehilangan nafkah hidup karena suami masuk penjara, masa depan anak-anak
terancam dan lain-lain.
Dengan kondisi seperti tersebut maka dilihat dari segi sosiologi hukum, peluang keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini sanagat sulit untuk mencapai keberhasilan maksimal.
Dengan kondisi seperti tersebut maka dilihat dari segi sosiologi hukum, peluang keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini sanagat sulit untuk mencapai keberhasilan maksimal.
Merujuk pada teori sistem
Friedman, sebagaimana disebutkan di bagian depan, faktor kesulitan
penegakan hukum itu justru bersumber pada komponen substansi hukumnya sendiri,
nilai nilai kultural yang terdapat di dalam masyarakat berkaitan dengan
kehidupan rumah tangga itu.
Dengan Perumusan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan segala kompleksitas permasalahannya sebagai tindak pidana aduan, menjadikan tindakan-tindakan yang mengarah pada upaya pemidanaan pelakunya justru akan mengarah pada timbulnya dampak-dampak kontra produktif terhadap tujuan dasar pembentukan UU PKDRT itu sendiri.
Dengan Perumusan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan segala kompleksitas permasalahannya sebagai tindak pidana aduan, menjadikan tindakan-tindakan yang mengarah pada upaya pemidanaan pelakunya justru akan mengarah pada timbulnya dampak-dampak kontra produktif terhadap tujuan dasar pembentukan UU PKDRT itu sendiri.
Oleh karena itu, kembali kepada ide
dasar penggunaan hukum pidana sebagai sarana terakhir dalam upaya
penanggulangan kejahatan (ultimum remedium), maka keberadaan UU PKDRT harus
lebih ditekankan pada upaya optimasi fungsi hukum administrasi negara dalam
masyarakat. Upaya mengoptimalkan fungsi hukum administrasi negara, dalam kaitan
ini yang dimaksudkan adalah upaya untuk mendidik moralitas seluruh lapisan
warga masyarakat ke arah yang lebih positif berupa terwujudnya masyarakat yang
bermoral anti kekerasan dalam rumah tangga.
2.5 Dampak dari Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
1) Kehilangan
minat untuk merawat diri, yang tampil dalam perilaku menolak atau
enggan makan/minum, makan tidak teratur, malas mandi atau berdandan, tampil
berantakan seperti rambut kusut, pakaian awut-awutan.
2) Kehilangan
minat untuk berinteraksi dengan orang lain, yang tampil dalam
perilaku mengurung diri di kamar, tidak mau berhubungan dengan orang lain,
cenderung diam, dan enggan bercakap-cakap.
3) Perilaku
depresif, tampil dalam bentuk pandangan mata kosong seperti menatap
jauh ke depan, murung, banyak melamun, mudah menangis, sulit tidur atau
sebaliknya terlalu banyak tidur, dan berpikir tentang kematian.
4) Terganggunya
aktivitas atau pekerjaan sehari-hari, seperti sering menjatuhkan
barang tanpa sengaja, kurang teliti dalam bekerja yang ditunjukkan dengan
banyaknya kesalahan yang tidak perlu, sering datang terlambat atau tidak masuk
bekerja, tugas-tugas terlambat tidak sesuai tenggat waktu, tidak menyediakan
makanan untuk anak padahal sebelumnya hal-hal ini dilakukannya secara rutin.
5) Ketidakmampuan
melihat kelebihan diri, tidak yakin dengan kemampuan diri, dan kecenderungan
membandingkan diri dengan orang lain yang dianggapnya lebih baik. Contohnyamenganggap
diri tidak memiliki kelebihan meski fakta yang ada menunjukkan hal sebaliknya,
atau sering bertanya apakah yang ia lakukan sudah benar atau belum.
6) Kehilangan
keberanian untuk melakukan tindakan yang ditunjukkan dengan tidak
berani mengungkapkan pendapat atau tidak berani mengingatkan pelaku jika
bertindak salah.
7) Stres
pascatrauma, yang tampil dalam bentuk mudah terkejut, selalu
waspada; sangat takut bila melihat pelaku, orang yang mirip pelaku, benda-benda
atau situasi yang mengingatkan akan kekerasan, gangguan kilas balik (flash
back) seperti tiba-tiba disergap bayangan kejadian yang telah
dialami, mimpi-mimpi buruk dan atau gangguan tidur.
8) Kebingungan-kebingungan
dan hilangnya orientasi, yang tampil dalam bentuk merasa sangat
bingung, tidak tahu hendak melakukan apa atau harus bagaimana melakukannya,
seperti orang linglung, bengong, mudah lupa akan banyak hal, terlihat tidak
peduli pada keadaan sekitar, tidak konsentrasi bila diajak berbicara.
9) Menyakiti
diri sendiri atau melakukan percobaan
bunuh diri.
10) Perilaku
berlebihan dan tidak lazim seperti tertawa sendiri, bercakap-cakap
sendiri, terus berbicara dan sulit dihentikan, pembicaraan kacau; melantur,
berteriak-teriak, terlihat kacau tak mampu mengendalikan diri, berulang-ulang
menyebut nama tertentu, misalnya nama pelaku tanpa sadar.
11) Perilaku
agresif, seperti menjadi kasar atau mudah marah terhadap
anak/pekerja rumah tangga/staf atau rekan kerja, membalas kekasaran pelaku
seperti mengucapkan kata-kata kasar, banyak mengeluhkan kekecewaan terhadap
pelaku.
12) Sakit
tanpa ada penyebab medis (psikosomatis), seperti infeksi lambung,
gangguan pencernaan, sakit kepala, namun dokter tidak menemukan penyebab medis,
mudah merasa lelah, seperti tidak bertenaga, dan pegal/sakit/ngilu, tubuh
sering gemetar.
13)
Khusus pada anak, dampak psikis muncul dalam bentuk:
(a) mundur
kembali ke fase perkembangan sebelumnya seperti kembali mengompol,
tidak berani lagi tidur sendiri, kembali ingin terus berdekatan dengan orang
lain yang dirasa memberi rasa aman, harus selalu ditemani.
(b) gangguan
perkembangan bahasa seperti keterlambatan perkembangan bahasa,
gangguan bicara seperti gagap.
(c)
depresi yang tampil dalam bentuk perilaku menolak ke sekolah, prestasi menurun,
tidak dapat mengerjakan tugas sekolah atau pekerjaan rumah dengan baik yang
ditandai dengan banyaknya kesalahan, kurangnya perhatian pada tugas atau pada
penjelasan yang diberikan orang tua/guru, dan berbagai keluhan fisik.
2.6 Cara Penanggulangan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
Cara-cara penanggulangan Kekerasan
dalam Rumah Tangga, antara lain:
a.
Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan
berpegang teguh pada agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak
terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
b.
Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam
sebuah keluarga, karena didalam agama itu mengajarkan tentang kasih sayang
terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga
dapat saling mengahargai setiap pendapat yang ada.
c.
Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan
istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di
dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua
belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah
tangga.
d.
Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling
menghargai dan sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga
dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka
mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka
yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang
kadang juga berlebih-lebihan.
e.
Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun
keuangan yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi
apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam
keluarga dapat diatasi dengan baik.
2.7
Perlindungan bagi korban KDRT
UU PKDRT juga membagi perlindungan itu menjadi
perlindungan yang bersifat sementara dan perlindungan dengan penetapan
pengadilan serta pelayanan. Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi
dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya masing-masing:
a.
Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan
sementara yang diberikan paling lama 7 (tujuh) hari, dan dalam waktu 1 X 24 jam
sejak memberikan perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan.
b.
Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk
konsultasi hukum, melakukan mediasi dan negosiasi di antara pihak termasuk
keluarga korban dan keluarga pelaku (mediasi), dan mendampingi korban di
tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan
(litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan
pendamping, dan pekerja sosial(kerja sama dan kemitraan).
c.
Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan
dalam bentuk perintah perlindungan yang diberikan selama 1 (satu) tahun dan
dapat diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan penahanan dengan surat perintah
penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh) hari apabila pelaku
tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan yang ditandatanganinya mengenai
kesanggupan untuk memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan.
d.
Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya
terutama dalam upaya pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan
sesuai profesinya wajib memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan
membuat visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau membuat
surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat
bukti.
e.
Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk
konseling untuk menguatkan dan memberi rasa aman bagi korban, memberikan
informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan, serta
mengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga terkait.
f.
Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban
mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan seorang atau beberapa relawan
pendamping, mendampingi korban memaparkan secara objektif tindak KDRT yang
dialaminya pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, mendengarkan
dan memberikan penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.
g.
Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk
memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban dan memberikan penguatan iman dan
takwa kepada korban.
0 komentar:
Posting Komentar